Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Dan hari ini awal dari semester baru. Di sebuah Sekolah Menengah Atas Swasta ada beberapa guru baru, di antaranya adalah Ibu Yuni.
Dari pancaran wajahnya, tampak keramahan pada Ibu Yuni. Walaupun umurnya sudah 52 tahun, tapi beliau tampak seperti umur empat puluhan. Mungkin itu karena beliau yang murah senyum, sehingga menjadi tampak lebih muda.
Upacara bendera dimulai. Upacara berlangsung hikmad dari awal hingga pelaksanaan pengibaran bendera. Tak lama kemudian dating seorang siswa dengan penampilan yang tampak urakan. Dengan memakai topi yang miring, tanpa dasi, lengan baju digulung, dan tanpa kaos kaki. Seorang guru menghampiri siswa tersebut, dan langsung menegurnya. “ Yoga ! Kamu sangat keterlaluan. Kamu tahu hari ini hari pertama masuk sekolah, tak sepantasnya kamu dating jam segini dengan penampilan yang seperti itu !” tegur Pak Johan tampak marah melihat kelakuan Yoga yang tak pernah berubah walaupun dia sudah duduk di kelas 3 SMA.
Dengan santainya Yoga menjawab. “ Karena baru libur panjang saya belum terbiasa Pak pakai seragam sekolah dan bangun pagi.” Pak Guru tersebut hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Yoga itu.
“Sekarang kamu maju ke tengah lapangan. Berdiri di sana, dan kamu tidak boleh masuk barisan upacara.” Perintah Pak Johan.
“Siap Pak.” Jawab Yoga. Dengan santainya dia berjalan menuju tengah lapangan. Tak ada rasa bersalah dari mimik wajahnya.
Usai upacara, Yoga dihampiri lagi oleh Pak Johan. “ Tanda tangan !” Suruh beliau sembari menyodorkan sebuah kertas pernyataan pelanggaran peraturan sekolah.
“Dapet poin lagi saya Pak? “ Tanya yoga dengan santainya.
“Iya, dan poinmu sekarang sudah 50. Dan ini jangan lupa Surat Peringatan, kamu serahin pada orang tuamu.” Jelas Pak Johan. Yoga hnaya mengangguk dan membubuhkan tanda tangannya pada kertas yang disodorkan Pak Johan tadi. “Sekarang rapikan pakaianmu, dan mausk kelas !” Lanjut Pak Johan. Dan Yoga pun beranjak dari hadapan Pak Johan menuju kelasnya.
Yoga memasuki kelasnya. Bukannya duduk di tempat duduknya, Yoga malah duduk di meja salah satu siswi di kelas tersebut. “ Yoga, bu guru masuk.” Bisik siswi tersebut. Yoga memalingkan pandangannya. Tampak Bu Yuni sudah berada di belakang Yoga. Ibu Yuni hanya tersenyum melihat kelakuan Yoga. Baginya sudah biasa melihat kelakuan murid-murid nakal seperti Yoga. “ Kembali ke tempat duduk kamu.” Ucap Bu Yuni.
Bu Yuni sebagai guru baru, di amemperkenalkan dirinya di hadapan semua murid di kelas 3C. Proses mengajar Bu Yuni berjalan lancar pada hari pertamanya, tapi tidak hari-hari berikutnya. Bu Yuni harus menghadapi kenakalan dan kejahilan Yoga. Bermacam kejahilan yang dilakukan Yoga pada Bu Yuni. Pernah Yoga menaruh permen karet di bangku Ibu Yuni, menempel secarik kertas di punggung Ibu Yuni, memboyong semua teman-teman di kelasnya hingga kelas kosong, hingga membocorkan ban motor Ibu Yuni, dan masih banyak lagi.
Tak seperti biasanya, Yoga yang selalu jahil pada Bu Yuni sekarang malah sebaliknya. Dia memberikan sebungkus kado untuk wali kelasnya tersebut. Ibu Yuni pun rada curiga, tapi dia percaya saja pada Yoga, karena menurutnya mungkin Yoga sudah sadar akan kesalahannya selama ini, makanya Yoga member kado itu sebagai permintaan maafnya, pikir Bu Yuni.
“Wah, dapat hadiah dari siapa Bu?” Tanya salah seorang guru pada Bu Yuni.
“Dari Yoga Bu.” Jawabnya.
“Yoga? Murid nakal itu? Mana mungkin Bu.” Bantah guru tersebut.
“Mungkin saja Bu, kan semua orang bisa berubah.” Jawab Bu Yuni yang tak berprasangka buruk pada muridnya itu. Saat Bu Yuni membuka hadiah tersebut, tiba-tiba ada yang melompat dari isi kotak itu. Seekor kodok keluar dari dalam kotak kado tersebut. Bu Dina yang melihat kejadian itu langsung berteriak, sehingga membuat guru-guru lain berdatangan.
“Ada apa Bu? Ada apa?” Tanya guru-guru tersebut khawatir.
“Itu ada kodok !” tunjuk Bu Dina kea rah Bu Yuni.
“Mana?” Tanya guru-guru yang lain. “Mana kodoknya?” Tanya Pak Johan.
“Sudah pergi Pak kodoknya.” Jawab Bu Yuni yang tampak tenang-tenang saja. Padahal kodok tadi melompat ke arah wajahnya.
“Aduuuhh Bu… sudah saya bilang Yoga itu nggak mungkin baik.” Seru Bu Dina. Bu Yuni hanya tersenyum mendengar ucapan Bu Dina. Sedangkan Yoga, lagi-lagi dia dipanggil oleh Pak Johan, Kepala Seksi Kesiswaan di sekolah itu. Yoga kembali mendapat poin, dan poinnya sekarang bertambah jadi 60 poin. Yoga juga disuruh minta maaf pada Bu Yuni, tapi malah tidak dilakukannya.
Hari ini tak seperti biasanya. Yoga menjadi anak baik, karena Bu Yuni hari ini tidak masuk. Tapi ada yang aneh. Bu Yuni bukan cuma 1 hari tidak masuk mengajar, tapi hari berikutnya pun tidak ada.
Sudah 1 minggu lebih Bu Yuni tidak masuk mengajar. Ada kabar, Bu Yuni masuk rumah sakit. Selama sakit, Bu Yuni digantikan dengan guru lain. Yoga merasa tidak ada guru yang bisa dia jahilin. Dia pun menjahili guru pengganti Bu Yuni. Tapi guru tersebut tak seperti Bu Yuni. Guru itu selalu melapor pada Pak Johan atas perbuatan Yoga. Hingga poin Yoga pun bertambah menjadi 90 poin. Dan 10 poin lagi maka Yoga akan dikeluarkan. Orang tua Yoga juga dipanggil lagi ke sekolah. Tak hanya skors yang Yoga apatkan, dia juga mendapatkan hukuman di rumah. Yoga tidak boleh kemana-mana. Dia dikurung di rumah.
Tak lama terlintas suara Bu Yuni di pikiran Yoga. Bu Yuni pernah berkata padanya, “ Apapun yang Yoga lakukan pada Ibu, Ibu tidak akan marah, sekalipun itu membuat hati Ibu kesal. Percuma kekerasan dibalas dengan amarah. Dan Yoga juga tidak perlu meminta maaf, karena Ibu selalu memaafkan Yoga.” Tiba-tiba Yoga kepikiran untuk meminta maaf pada Bu Yuni. Yoga sadar saat itu sudah semakin malam, tapi Yoga tetap pergi menuju rumah sakit. Tekadnya kuat pada saat itu untuk meminta maaf pada Bu Yuni.
Hingga di perjalanan pun Yoga masih terpikir betapa bersalahnya dia selama ini. Apa yang dia lakukan pada Bu Yuni sangatlah salah, dan Bu Yuni tak pernah dendam pada Yoga, malah sebaliknya, Bu Yuni baik sekali padanya. Bahkan baginya minta maaf pun tak cukup untuk menebus dosanya.
Sibuk dengan lamunannya, Yoga tersentak saat menyadari ada seekor kucing yang melintas di depannya. Yoga berusaha menghindari kucing itu. Namun naasnya, Yoga malah menabrak trotoar jalan.
Yoga membuka matanya. Tampak Pak Johan dan teman-temannya berdiri di sampingnya. “Mana Bu Yuni?” Ucap Yoga perlahan. Namun yang lain hanya terdiam, tak ada yang menjawab Yoga. “Pak… saya mau ketemu Bu Yuni.” Ucap Yoga lagi dengan lemasnya. “Saya mau minta maaf Pak, saya sudah banyak salah sama Bu Yuni.” Sambungnya.
“Yoga, simpan saja maaf kamu itu, Bapak Yakin Bu Yuni pasti sudah memaafkan kamu. Karena kita semua tahu bagaimana baiknya Bu Yuni.” Pak Johan mulai membuka mulut.
“Iya saya tahu Pak, tapi saya mau ketemu Bu Yuni.” Yoga bersikeras ingin menemui Bu Yuni.
“Yoga… Bu Yuni sudah tidak ada.” Ucap salah seorang teman Yoga, yang dari tadi sudah tak tahan ingin mengungkapkan bahwa Yoga terlambat, karena Bu Yuni sudah diambil Yang Maha Kuasa.
“Maksudnya? Bu Yuni pindah?” tanya Yoga.
“Bu Yuni sudah meninggal.” Jawab Pak Johan dengan nada bicara yang rendah. Yoga pun kaget mendengar berita tersebut. Rasa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Pak Johan. Semua niatnya terlambat, dan membuat rasa bersalah didirinya semakin besar.
Pikirannya semakin berkecamuk. Walaupun dia sadar Bu Yuni telah memaafkannya, tapi Yoga tak pernah bisa berbuat baik pada Bu Yuni. Dia tak bisa member kenangan indah pada Bu Yuni. Hanya kenakalanlah yang bisa dia berikan selama ini pada guru yang dia sayangi itu. Setelah dia ingin memulainya dari awal, namun semuanya terlambat.
Kini Yoga hanya bisa bertemu Bu Yuni di pemakaman. Menaburkan sekumpulan bunga. Dan berbicara lewat do’a.
--END--
bagi pembaca mohon kritik dan sarannya yaa.. ^^